Catatan Perjalanan :
Keliling
Setengah Amerika
24.
Menginap Di Motel Kelas Kambing Di Lebanon
Hari
Sabtu sore itu, kami lalu menyusuri jalur panjang dan lurus jalan
Cambridge yang menuju pinggir timur Boston hingga tiba di
Interstate 93 yang menuju ke utara. Selepas dari kota Boston kami
lalu masuk ke Interstate 95 untuk meninggalkan Massachusetts.
Massachusetts merupakan satu dari enam negara bagian di daratan
timur laut Amerika yang disebut juga dengan New England. Penamaan
ini terkait dengn sejarah pendaratan bangsa Inggris pada sekitar
tahun 1620 dimana selanjutnya peristiwa ini mengawali perayaan
tradisional Thanksgiving.
Setengah
jam kemudian kami. memasuki wilayah di ujung tenggara negara
bagian New Hampshire dan terus menuju utara mengikuti jalan
Interstate 95 yang bergabung dengan jalan New Hampshire Turnpike.
Ini adalah jalan toll yang berada di tepian pantai timur
Amerika bagian utara. Tidak lama melintasi wilayah New Hampshire,
segera kami memasuki wilayah negara bagian Maine.
Maine
adalah negara bagian yang terletak di ujung paling timur laut
dari daratan Amerika yang mempunyai nama julukan sebagai
Pine Tree State dan beribukota di Augusta. Memasuki
Maine, setelah melewati gerbang toll, hujan mulai turun.
Jalanan yang basah menyebabkan saya tidak berani melaju dengan
kecepatan maksimum pada 70 mil/jam (sekitar 110 km/jam).
Waktu
sudah menunjukkan menjelang pukul 7:00 sore. Hari yang seharusnya
masih terang, sore itu menjadi gelap karena awan hitam
menggantung di angkasa Maine bagian selatan. Padahal rencana
semula saya akan menuju kota Portland di Maine sebelum berbelok
menuju ke arah barat dengan menyusuri jalan-jalan kecil State
Road. Melihat cuacanya, jelas ini cuaca yang sangat tidak
menguntungkan. Selain saya mesti lebih jeli memperhatikan
rambu-rambu, juga saya mesti mengurangi kecepatan akibat jalanan
yang basah.
Mulailah
saya berhitung dengan waktu. Kelihatannya tidak memungkinkan
untuk mencapai kota Rutland di negara bagian Vermont. Karena itu
saya memutuskan untuk menginap di kota mana saja yang sekiranya
enak untuk diinapi, tapi harus berada di seputaran wilayah
Vermont agar esoknya tidak ketinggalan jarak tempuh. Perubahan
rute mendadak kembali saya lakukan, saya tidak jadi menuju kota
Portland. Setiba di kota kecil Wells, saya langsung mengambil
jalan exit dan masuk ke State Road (SR) 9 yang menuju ke
arah barat ke kota kecil North Berwick lalu Berwick.
Benar
juga, begitu masuk ke SR 9, hujan turun sangat lebat disertai
kilat dan petir menggelegar di saat hari mulai gelap, serta angin
yang bertiup cukup kencang. Terpaksa saya harus berjalan lambat,
sekitar 40 mil/jam (sekitar 64 km/jam). Selain khawatir dengan
jalan yang licin, juga batas jalan menjadi terlihat kabur karena
pandangan terhalang oleh turunnya air hujan. Untungnya di rute
ini lalulintas tidak terlalu ramai.
Sekitar
jam 8:00 malam, saya mencapai kota kecil Berwick dan hujan sudah
reda. Masih tampak ada kehidupan malam di kota kecil yang saya
perkirakan berpopulasi beberapa ribuan saja. Kami lalu berhenti
untuk mengisi BBM, sambil istirahat sejenak dan membeli bekal
makan malam yang dapat dimakan sambil jalan. Kami tidak ingin
berhenti terlalu lama karena sudah ketinggalan jarak tempuh.
Segera
perjalanan kami lanjutkan. Tiba-tiba saya merasa ada yang salah
dengan rute yang saya ambil. Saya masuk di perkampungan yang sepi
dan tampaknya bukan jalan umum. Saya kehilangan arah, untuk
mencari jalan yang benar saya berusaha mencapai jalan besar. Eh,
benar juga. Setelah berputar-putar akhirnya tiba kembali di
tempat saya membeli makanan tadi.
Barulah
saya buka kembali peta perjalanan. Rupanya saya salah mengambil
jalur ketika tiba di perempatan yang menuju ke luar kota.
Perjalananpun kemudian saya lanjutkan melalui SR 16 menuju kota
Rochester. Kini kami meninggalkan wilayah Maine dan memasuki
kembali wilayah negara bagian New Hampshire.
Dari
Rochester saya berpindah ke Highway 202 yang akan menuju kota
Concord. Jarak yang akan saya tempuh di penggal jalan ini sekitar
60 km. Namun karena jalan ini membentang melalui areal hutan dan
perbukitan maka rutenya berkelok-kelok. Dengan kondisi jalan yang
sangat mulus saya dapat melaju dengan kecepatan rata-rata 55
mil/jam (sekitar 88 km/jam). Hari yang sudah gelap dan lalulintas
yang sepi, membuat saya sesekali berani mencuri kecepatan.
Tak
urung, ketika semakin lama saya merasa semakin sendirian melewati
jalan ini akibat sangat sepinya lalulintas, membuat saya
ragu-ragu jangan-jangan saya salah jalan lagi. Setelah melewati
sebuah perempatan jalan kecil yang tanpa rambu-rambu, saya menepi
dan berhenti.
Entah
saya berhenti dimana, wong tolah-toleh ke sekeliling hanya
gelap yang tampak di balik pohon-pohon besar di sepanjang
pinggiran jalan. Saya buka-buka kembali peta perjalanan, saya
cocokkan dengan arah kompas yang ada di mobil, lalu saya
mantapkan bahwa itu memang rute yang benar. Kembali saya melaju
ke arah barat. Jarak yang hanya 60 km terasa sangat panjang dan
lama. Hampir dua jam saya melewati jalur ini.
Akhirnya
saya tiba di kota Concord dan ketemu lagi dengan jalan Interstate
93 yang membentang arah utara-selatan. Sekitar 6 km menuju ke
selatan, lalu berpindah ke Interstate 89 yang menuju ke barat
laut ke arah kota Rutland. Jalanan masih agak basah, namun tidak
lagi hujan.
Barulah
kemudian saya dapat kembali mengembangkan kecepatan lebih 70
mil/jam (110 km/jam) di Interstate 89 ini. Saat itu saya sudah
memperkirakan tidak akan mampu mencapai kota Rutland karena
terlalu malam. Karena itu saya putuskan untuk mencapai kota
Lebanon yang tepat berada di perbatasan antara negara bagian New
Hampshire dan Vermont. Di Lebanon ini saya nantinya akan mencari
penginapan.
***
Tepat
hari Sabtu tengah malam saya mencapai kota Lebanon. Dari
Interstate 89 tampak lampu-lampu kota Lebanon yang berada agak ke
bawah di sisi utara jalan. Kota ini sendiri sebenarnya terletak
pada elevasi sekitar 185 meter di atas permukaan laut. Dengan
populasinya sekitar 12.200 jiwa, tengah malam itu jelas sudah
sangat sepi. Inilah kota terbesar dari kota-kota kecil yang malam
itu dapat saya capai.
Langsung
saja mencari hotel yang paling dekat dengan bandara Lebanon.
Adalah hal yang sudah umum bahwa kota-kota kecil di Amerika juga
memiliki lapangan terbang untuk pesawat-pesawat berkapasitas
terbatas tentunya. Rupanya kamar hotel sudah penuh. Saya
berpindah ke hotel berikutnya, juga sudah penuh. Hingga hotel
ketiga yang saya datangi juga penuh tidak ada kamar kosong.
Wuuuah
., hampir saja saya nekad melanjutkan perjalanan
menuju kota Rutland sekitar 70 km ke barat lagi. Menurut buku
panduan yang saya bawa, di kota Rutland ini akan ada lebih banyak
hotel. Ada yang saya lupa memperhitungkan rupanya, yaitu bahwa
hari itu adalah Sabtu malam Minggu. Di akhir pekan, biasanya
hotel-hotel transit memang sering penuh. Apalagi saya datang di
saat tengah malam.
Sebelum
saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Rutland, seorang
ibu setengah baya yang menjaga hotel terakhir yang saya datangi
cukup berbaik hati. Saya diberi selembar peta lokasi kota
Lebanon, lalu ditunjukkan sebuah tempat yang dia sangat yakin
pasti masih ada tersedia kamar. Dikatakannya : inilah
satu-satunya motel yang saya yakin pasti masih tersedia kamar
untuk Anda. Lho, kok yakin? Entahlah.
Tanpa
pikir panjang, setelah berterimakasih, saya langsung mencari
motel yang dimaksud di bilangan west Lebanon. Dari jauh tampak
tulisan Sandy Lawn Motel dengan ukuran huruf cukup
besar dengan lampu warna merah menyolok. Melihat namanya saya
sebenarnya agak ragu, ini nama yang asing bagi hotel-hotel
transit di Amerika.
Saya
tepis jauh-jauh pikiran itu, yang penting malam ini kami dapat
beristirahat, pikir saya. Setelah ketemu dengan motel yang
dimaksud, lalu saya pencet bel di pintu kantornya yang jelas
sudah tutup. Sepi sekali. Keluarlah petugas motel yang agaknya
baru terbangun dari tidurnya karena mendengar bunyi bel. Menilik
wajahnya saya yakin ini pasti orang India.
Jadilah
akhirnya kami menginap di motel itu. Dalam keremangan halaman
hotel yang masih basah bekas hujan, selintas saya memandang
sekeliling, tampak deretan mobil-mobil parkir di sana. Dalam hati
saya ngayem-ayemi (menenangkan perasaan) diri sendiri :
kalau melihat banyaknya tamu, mestinya ini motel yang tidak
terlalu buruk. Kondisi kamarnya memang tidak sebagus
umumnya hotel-hotel transit, tapi lumayanlah. Bahasanya orang
Amerika : not too bad.
Ketika
esoknya kami keluar motel hendak melanjutkan perjalanan, barulah
saya sadar bahwa keraguan saya tadi malam sebenarnya beralasan.
Ternyata ini memang motel kelas kambing. Memang banyak mobil
parkir di halaman motel, namun tampak jelas hanya beberapa saja
yang sebenarnya masih berjalan, selebihnya adalah mobil rusak
yang nongkrong di sana. Jadi kelihatan bahwa mobil saya ternyata
yang terbaik di antara mobil-mobil yang parkir di sana.
Lebih
jelas lagi ketika saya melirik ke dalam beberapa kamar hotel yang
pintunya terbuka, di dalamnya terlihat bertumpuk-tumpuk peralatan
pertukangan, kotak-kotak dan rak-rak kayu, besi-besi rongsokan,
dsb. Kelihatannya itu memang motel yang sering disewa oleh para
pekerja musiman yang datang dari luar kota. Untungnya wilayah
Amerika bagian utara timur ini termasuk wilayah yang aman dengan
tingkat kriminalitas rendah. Kami pun merasa tenang saja berada
di lingkungan yang tadi malam sebenarnya sudah saya rasakan
suasana yang tidak biasanya.
Hari Minggu, 9
Juli 2000, belum jam 9:00 pagi kami sudah beranjak hendak
meninggalkan kota Lebanon dengan motel kelas kambingnya. Kota
Lebanon ini terletak tepat di pinggir barat negara bagian New
Hampshire dan berbatasan dengan negara bagian Vermont yang hanya
dipisahkan oleh sungai Connecticut. New Hampshire yang mempunyai
nama julukan Granite State dengan ibukotanya di
Concord adalah negara bagian ke-20 yang kami lewati hingga hari
kedelapan tadi malam, setelah sebelumnya melewati Maine.-
(Bersambung)
Yusuf Iskandar